Kamis, 25 Juli 2013

DIADU DI LAPANGAN BOLA


DIADU DI LAPANGAN BOLA

                Jika kita mencermati perkembangan materi para permain dan pengolahan bola yang diramu oleh para pemain dalam beberapa pertandingan bola yang disiarkan oleh stasiun televisi swasta, maka rasanya kita boleh mendesign kembali harapan kita atas terciptanya sebuah tim bola nasional yang mampu menampilkan permainan bola yang indah, kuat dan mampu berbicara di tingkat internasional.
                Namun, harapan tersebut masih tersandera oleh dualisme kepemimpinan persepakbolaan nasional kita. Berbagai alternatif solusi sudah dipresentasikan untuk meleburnya menjadi satu. Namun tak satupun dapat mengakhiri kisruh ini.
                Oleh karena itu, saya mengusulkan  agar dilakukan pertandingan besar yang akan mempertemukan kedua kubu, yaitu kesebelasan kubu PSSI dan kesebelasan kubu KPSI.  Pada pertandingan tersebut harus tercapai suatu kesepakatan bahwa kesebelasan kubu  yang memenangkan pertandingan ini akan memegang tampuk kepemimpinan persepakbolaan nasional. Sedangkan yang kalah harus legowo melepaskan ambisinya.
 Mungkin cara inilah yang mampu menyelesaikan gonjang ganjingnya dunia bola kita.  Setuju!!!


Setetes Darah




Setetes Darah


Keinginanku sangat besar
hingga semangatku tak terbendung.
Tapi, ketakutankupun tidak kecil
hingga langkahku maju mundur.

Aku ragu...
Karna aku berada diantara berani dan takut.
Rasaku berani.
Tapi takutku menyelimuti

Terbayang keindahannya.
Tergambar sakitnya.
Terpacu niatku.
Terbelenggu kiatku.

Kuberanikan diri
melihat para sahabat dan temanku
berbaring tanpa ragu
mengulur lengan kucurkan darah

Kuteguhkan hatiku.
Gelorakan hasratku.
Tuk teteskan darahku.
Demi nyawa saudaraku.

Indah kurasakan
Dalam lingkaran kasih dan sayangMu
Selimuti hati dan perasaanku.
Bertabur harapan saling menyayangi


Menulis Itu Mudah


Menulis Itu Mudah



               Judul di atas dapat dipastikan akan menuai dan mengundang sikap dan respon yang beragam dari banyak orang dari berbagai macam kalangan, baik para guru, para dosen, para pelajar, para mahasiswa maupun masyarakat luas. Salah satunya adalah menganggap bahwa sang penulis sedang mengigau. Respon tersebut tumbuh dan berkembang atas dasar persepsi dan interpretasi yang salah mengenai aktifitas menulis. Masyarakat sudah terlanjur dan terjebak oleh pendapat yang mengatakan bahwa menulis itu merupakan kegiatan sulit dan rumit.
                Sikap tersebut sangat disayangkan. Karena akan selalu menjauhkan setiap anggota masyarakat dari aktifitas menulis. Hal ini telah menimbulkan dampak yang sangat fatal bagi tumbuhnya gairah menulis. Tentu saja karena persepsi dan interpretasi yang salah tersebut telah merasuk ke dalam pikiran dan hati sanubari secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sikap ini sangat kontraproduktif dengan berbagai usaha kita sebagai bangsa yang ingin mencapai tujuan perjuangannya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana yang tertera pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Apabila persepsi dan interpretasi salah itu tumbuh dan berkembang pada diri seorang guru atau dosen, maka pasti akan meracuni anak didiknya. Bila demikian halnya, maka kita tidak dapat lagi mengharapkan adanya keinginan menulis di kalangan para pelajar dan mahasiswa.
               Sedangkan aktifitas ini seharusnya selalu mendapatkan perhatian dan dikembangkan di setiap jenjang pendidikan, baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas/Kejuruan, Perguruan Tinggi, maupun di kalangan masyarakat luas. Pengembangan kegiatan menulis tersebut harus terus menerus digalakkan seiring dengan kampanye gerakan nasional membaca. Hal ini dikarenakan bahwa kegiatan menulis merupakan salah satu ketrampilan bahasa, baik bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa-Bahasa lainnya yang diajarkan di bangku sekolah.

Bukan Bakat
               Padahal menulis hanya merupakan kegiatan ketrampilan belaka. Kemampuan menulis seseorang dapat diraih apabila dia terampil. Dan terampilnya seseorang dalam menulis dapat diraih hanya dengan melatih dirinya setiap waktu. Persepsi dan interpretasi banyak orang tentang sulitnya menulis lebih dikarenakan oleh sikap yang tidak sabar dan tidak telaten. Orang menginginkan dapat menulis tanpa belajar dan berlatih. Mana mungkin hal itu bisa terjadi. Kemampuan menulis bukan merupakan kemampuan yang bersifat menurun dari orang tua kita. Kemampuan menulis juga bukan merupakan bakat yang terpendam di dalam hati dan pikiran kita. Namun kepemilikan kemampuan menulis merupakan wujud dari sebuah usaha keras dari seseorang yang memiliki keinginan yang sangat kuat dalam kegiatan menulis. Maka dengan didasari oleh sebuah keinginan untuk dapat menulis, seseorang dapat memulai berbagai usaha yang mengarah kepada terwujudnya sikap berlatih menulis. Ini berarti bahwa siapapun dan dari kalangan manapun memiliki kesempatan yang sama untuk dapat melakukan aktifitas menulis.
               Dengan menyadari bahwa kemampuan menulis harus dirintis dari serentetan kegaiatan belajar dan belajar, maka seseorang harus menerima sebuah konsep bahwa perolehan  kemampuan menulis adalah merupakan sebuah proses. Dan seseorang harus melewati serangkaian tahapan dalam belajar menulis.

Dari Yang Sederhana
               Adalah sebuah sikap yang sangat manusiawi apabila seseorang menginginkan sertiap yang diinginkannya dapat diraih  secara instan, yaitu dengan cara yang cepat dan mudah dilakukan serta secara langsung diperoleh hasil yang sebaik-baiknya. Namun tidak semua hal dapat didapat dengan cara instan. Diantaranya adalah kemampuan menulis dan menuangkan ide, gagasan dan perasaan. Kepemilikan kemampuan ini harus direngkuh dengan penuh kesabaran dan ketelatenan serta membutuhkan waktu yang cukup. Hal ini dikarenakan bahwa menulis merupakan ketrampilan yang harus dilatih secara terus menerus dan berkelanjutan. Apabila hal itu dilakukan oleh seseorang, maka kemampuan menulisnya pasti akan memperoleh peningkatan yang signifikan. Dalam artian bahwa semakin sering berlatih menuangkan ide, gagasan dan perasaan di atas selembar kertas, seseorang akan menuai ketrampilan menulis yang lebih cepat.
               Untuk mencapai hal itu, seseorang  harus memiliki sikap sabar yang cukup. Yang tidak kalah pentingnya adalah adanya kepemilikan persepsi dasar yaitu bahwa menulis itu berjalan pada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Ketergesah-gesahan seorang penulis agar segera dapat memiliki ketrampilan kecepatan menuangkan ide, gagasan dan perasaannya adalah merupakan masalah yang harus selalu dihindari oleh seorang penulis. Karena pasti akan dapat menimbulkan stres yang justru akan membunuh hasrat/keingininan seseorang untuk merajut ketrampilan menulis.
               Oleh karena itu, seorang penulis harus memulai kegiatan menulisnya dengan hal-hal yang mudah untuk dituangkan dan sederhana untuk dipikirkan, seperti masalah-masalah yang mungkin muncul dari dalam diri dan lingkungan di sekitar sang penulis berada.

Sesuatu Yang Digemari
               Berbagai tema dan topik dapat dicurahkan ke dalam sebuah karya tulis. Dan itu semua dapat ditemukan di dalam diri dan lingkungan penulis. Karena, sebenarnya di dalam dirinya bersemayam berlaksa bibit karya yang dapat diangkat ke dalam berbagai karya. Seperti, kisah cintanya dengan si dia, kemampuannya mencipta dan membaca puisi, ketrampilannya dalam melipat kertas (origami), kecerdikannya meramal dan sebagainya. Begitu juga, lingkungan sekitar dimana penulis berada menyimpan beraneka data mati yang sangat mungkin untuk dihidupkan melalui kegiatan merangkai kata-kata dan menyusun kalimat-kalimat bermakna. Sebut saja, sampah dan pemulung, taman dan rerumputan, sungai dan burung pipit, lembah dan ngarai, gunung dan burung-burung dan sebagainya. Namun, penulis harus memilih tema/topik yang sangat digemari. Karena sesuatu yang digemari biasanya melekat di dalam diri dan pikirannya. Dan sesuatu yang dekat, secara psikologi akan dapat dicurahkan denga mudah dan lancar. Kemudahan dan kelancaran dalam mencurahkan berbagai ide dan gagasan serta perasaan akan senantiasa menimbulkan dan meningkatkan semangat untuk menciptakan karya.

Tidak Mudah Putus Asa
               Menulis bagaikan angin yang berhembus. Kadang keras sekeras badai. Kadang lembut membelai rasa. Dan kadang tidak bergerak sama sekali. Begitulah, aktifitas menulis. Kelancarannya senantiasa mengalami stagnasi, naik dan  turun. Ada masanya seorang penulis sangat bersemangat karena kata-kata dan kalimat-kalimat mengucur deras. Tidak jarang tersendat-sendat. Bahkan ide, gagasan dan perasaannya menyingkir entah kemana.
               Stagnasi dalam menulis adalah hal yang biasa terjadi. Sehingga seorang penulis tidak boleh menganggapnya sebagai suatu kegagalan. Karena itu bukan suatu kegagalan. Tapi hanya merupakan dinamika dalam menulis. Fenomena tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi kejiwaan yang sedang berkembang di dalam diri sang penulis. Sehingga ungkapan “putus asa” harus dieliminasi dari kamus seorang penulis.

Siap Perekam
               Kadang penulis tidak perlu mencari-cari materi. Juga tidak butuh mengeksplorasi daya imaginasinya. Karena tanpa disadari olehnya sebuah inspirasi datangmelintas dan  menghampiri organ logika dan perasaannya secara tiba-tiba dan berada di luar kesadarannya. Sebegitu cepat lintasannya, sehingga cepat menghilang dari organ logikanya. Apabila tidak segera direkam dalam bentuk catatan maupun perekam suara, maka inspirasi tersebut akan sangat sulit untuk diingat kembali. Bahkan akan lenyap tanpa bekas. Jika ini terjadi, maka sebuah kerugian bagi seorang penulis. Menyadari nahwa hal itu akan sering terjadi, maka harus selalu disiapkan alat tulis dan alat perekan suara yang akan dapat digunakan untuk mendokumentasikan inspirasi tersebut.

Peka Pada Situasi
               Agar seorang penulis dapat terus berkarya, dia harus senantiasa menajamkan kepekaannya terhadap perasaan dan daya imajinasinya serta berbagai fenomena dan situasi yang berkembang di lingkungan sekitarnya. Kepekaan itu sangat dibutuhkan agar penulis dapat menangkap data-data liar yang berserakan di sekitarnya. Walau sekecil apapun.
              

Menulis Hidupkan Hidup


Menulis
Hidupkan Hidup

               Kehadiran seseorang di dalam wilayah dunia menulis dan atau sebaliknya kehadiran hasrat aktifitas menulis di dalam diri seseorang pasti akan mengubah sifat dan sikap dasar yang menjadi esensi bagi eksistensi dirinya. Keberadaan janin menulis akan membangkitkan semangat dan sinergi serta gairah baru dalam memanfaatkan setiap desah nafasnya, memaknai setiap jengkal langkahnya, merasakan setiap sentuhan jemarinya, merekam setiap tatapan mata dan pendengarannya dan mengekspresikan setiap perasaan dan imaginasi serta logikanya. Pengordinasian setiap bagian tubuh menjadi semakin tumbuh serasi dan terpadu hingga menimbulkan suatu harmoni.  Pemobilisasian setiap potensi yang bersarang di setiap sudut fisik dan begitu juga pada sudut spiritual (kejiwaan) semakin berkembang menjadi kekuatan (power) diri dalam mengekspresikan talenta menulisnya dalam wujud karya-karya tulisnya.
               Hal ini dikarenakan bahwa aktifitas menulis menjanjikan penghargaan (reward) yang kadang dapat membuat pelakunya (penulis) terbelalak matanya, bergetar seluruh tubuhnya serta terkejut di atas alam sadarnya. Munculnya sebuah penghargaan yang tak disangka-sangka datangnya dan dari siapa serta memicu suatu kekaguman yang terucap “kok bisa?” merupakan fenomena asing bagi seorang penulis pemula.
               Namun  dibalik pertanyaan, yang akan dapat terjawab setelah seorang penulis tersebut mengantongi jam terbang di atas hamparan wilayah menulisnya cukup, terselip adanya sebuah keyakinan bahwa ternyata menulis sebagai sebuah aktifitas berkarya  dapat membangkitkan, menggerakkan dan memancarkan sebuah kekuatan dahsyat yang bersemayam di dalam tubuh seseorang.
               Dahsyatnya “kekuatan” baru sebagai efek penyerta dari aktifitas menulis tersebut mampu menumbuhsuburkan semangat dan gairah baru bagi seorang penulis dalam mengarungi samudra kehidupan yang membentang di hadapannya, terutama semangat dan gairah untuk terus berkarya.

Memperkaya Wawasan
               Bagi seorang penulis, aktifitas menulis tak ubahnya kegiatan nyabu atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Keduanya memiliki pengaruh dahsyat baik pada fisik atau tubuh maupun kejiwaan pada sang pelaku, yaitu terjangkitnya sebuah situasi fisik dan kejiwaan yang ingin terus menerus melakukan aktifitasnya (adiktif). Tentu saja ketertagihan seorang penulis untuk terus menerus melakukan aktifitas menulisnya merupakan situasi fisik dan  kejiwaan yang sangat-sangat positif dan layak untuk terus digelorakan dan dikembangkan. Bahkan bila mampu dapat dijadikan sebagai sebuah profesi utama.
               Atas berkembangnya situasi tersebut, maka seorang penulis akan selalu berada dalam bara semangat yang berkobar-kobar dan tak berhasrat untuk menyurutkan, mengeleminasinya apalagi menyingkirkannya dari lingkup  wilayah kehidupannya. Hingga berbagai perjalanan fisik di atas hamparan karya-karya Tuhan ia lakukan. Begitu juga pengembaraan spirutual menyusuri alam khayalan dan logikanya digelarnya untuk   mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan yang terpendam di dasar kehidupan diri dan lingkungannya. Pengembaraan inilah  kemudian dapat memperkaya dirinya dengan berbagai macam fenomena kehidupan yang layak disebut sebagai ilmu-ilmu kehidupan baru. Mereka inilah kemudian memperpanjang deratan gambaran berbagai macam kejadian yang berisi pelajaran dan masalah serta  memperkaya rumus-rumus pemecahan masalah (problem solving) atas masalah-masalah tersebut. Jangkauan aktifitas dan nilai-nilai spiritual serta moralnya semakin luas dan bahkan mampu menembus batas-batas logika.


Menumbuhkan Optimisme
         Kekayaan moral spiritual yang bersemayam di atas hamparan ladang wawasan seorang penulis akan memberikan pengaruh yang luar biasa padanya. Khususnya dalam memperlakukan pengalaman masa lalu yang terjadi pada diri dan lingkungannya. Dan menapaki masa kini sebagai suatu kenyataan yang harus diterima dengan sikap arif dan bijaksana. Serta melakukan berbagai pertimbangan atas segala yang terjadi pada kedua bentang waktu tersebut sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan kiat-kiat dalam memprediksi dan mempreparasi atas berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
               Kekayaan ini mampu memberikan kemantapan dan keindahan pola rasa, pola pikir dan pola wicara serta pola tindak pada seorang penulis. Hingga ia mampu tumbuh dan berkembang sebagai insan yang bisa memberikan kendali atas dirinya. Terkendalinya diri menjadi jaminan atas halusnya rasa, putihnya hati, sensitifnya pendengaran, tajamnya penglihatan, bijaksananya pengucapan, mantapnya langkah dan harumnya aroma tubuh serta berkembangnya empati diri terhadap lingkungannya.
               Hal ini dikarenakan bahwa hal-hal itulah yang selalu menjadi bahan kajian yang akan diangkat sebagai buah karya-karyanya. Dan dengan hal-hal itu pula seorang penulis melakukan aktifitas menulisnya. Itu semua akan selalu memberikan dan menciptakan situasi kejiwaan yang mapan dan paripurna. Sehingga seorang penulis selalu dalam kesadaran proporsional dalam menyikapi dan menapaki  perjalanan hidup dan kehidupan serta masalah-masalah yang mengiringinya, khususnya dalam melakukan interaksi di tengah-tengah masyarakat luas.
              

Memperindah Citra
               Langkanya penulis yang tumbuh di tengah-tengah publik, sebagai akibat minimnya kegiatan pelatihan dan kurangnya penyuluhan tentang manfaat yang dapat diraih dari kegiatan menulis dan prospeknya yang menjanjikan berbagai keindahan materi dan spritual bagi sang pelaku (penulis), menumbuhkan image pretisius dan mengangkat seorang penulis sebagai predikat yang eksklusif. Kesan eksklusifitas seorang penulis tidak dibangun oleh sang penulis sendiri. Seorang penulis tidak akan pernah berfikir untuk mentahtakan dirinya sebagai manusia yang lain dari pada yang lain. Baginya keindahan dan kebahagiaan adalah sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya karya-karya yang ia dapat suguhkan di hadapan publik. Predikat eksklusif dianugerahkan oleh individu-individu yang berada di sekitarnya, terutama yang berkepentingan atas ketrampilan menulisnya dan karya-karyanya.
               Masyarakat memandang seorang penulis sebagai suatu predikat yang memiliki tempat tersendiri. Dibandingkan dengan predikat lainya, seorang penulis memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang-orang lain. Hal ini terutama disebabkan oleh kesan sulitnya menyusun kalimat-kalimat hingga membentuk sebuah karya tulis yang mampu menumbuhkan berbagai macam perasaan masyarakat pembaca. Lebih dari itu aktifitas menulis dirasakan sebagai aktifitas yang membutuhkan ketrampilan khusus dan beberapa kemampuan, diantaranya keuketan diri, kemampuan berbahasa, ketajaman indrawi dan keindahan rasa.
               Atas dasar itulah, predikat sebagai seorang penulis akan terus menjadi sosok yang terancam sebagai sasaran masyarakat di sekitarnya untuk berbagai hal dan masalah yang sedang berkembang di halaman publik serta yang erat hubungan dengan aktifitas tulis menulis. Publik menganggap seorang penulis layak dijadikan tumpuan dan tempat bertanya atas berbagai hal.


Penutup
               Bagi seorang penulis, menulis bukan saja sebagai suatu aktifitas yang memiliki nilai kebanggaan dan keindahan diri tetapi juga merupakan sebuah jalur pengabdian diri sekaligus sebagai ungkapan rasa pertanggungjawabannya terhadap publik. Tentu saja hal ini ditumbuhkan oleh kesadarannya sebagai anggota masyarakat yang memiliki tugas untuk ikut serta melakukan tindakan edukasi terhadap masyarakat sebagai salah satu tugas bagi setiap anggota masyarakat.      
               Kesadaran atas tuntutan itulah yang selalu mengiringi aktifitas sebagai seorang penulis. Sehingga mampu mengobarkan semangat seorang penulis untuk eksis dalam jalur pengabdiannya  dan terus menurus berkarya. Eksistensi seorang penulis ditentukan oleh kreatifitas dalam karyanya. Dan proses kreatif itu adalah hidup. Maka hidup seorang penulis berwujud karya-karyanya. Matinya seorang penulis adalah matinya karya-karyanya.