Kamis, 25 Juli 2013

BUKAN MINIATUR ORANG TUA


 BUKAN MINIATUR ORANG TUA


Tanpa disadari banyak orang tua sering kali melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari ranah psikologis yang seharusnya sangat dihindari. Seperti tindakan seenaknya menyuruh dan bahkan memaksa anak untuk melakukan sesuatu di saat anak sedang asyik-asyiknya melakukan kegiatan kegemarannya. Main perintah  dengan sikap yang seakan sebagai komandan batalion sebuah kesatuan tentara tidak sepatutnya diperagakan di hadapan anak. Disamping terkesan tidak memberikan contoh sikap, prilaku dan wicara yang berbudi, ekspresi tersebut juga tidak mendidik anak. Ini merupakan wujud nyata bahwa orang tua sangat tidak memahami dunia anak dan sekaligus tidak memiliki rasa hormat atas pribadi anak. Dan hal ini merupakan penyimpangan sikap dan perilaku yang oleh anak-anak akan difonis sebagai intervensi pribadi. Penyimpangan ini memungkinkan timbulnya dampak psikologis yang akan mempengaruhi perkembangan psikologis anak-anaknya. Penyimpangan ini juga rentan timbulnya distorsi sikap anak terhadap kekeramatan orang tua yang dapat menciptakan reduksi sikap serta rasa hormat dan bahkan kasih sayang anak terhadap orang tua. Sehingga menimbulkan hasrat untuk menciptakan jarak, baik secara pisik maupun psikologis. Keinginan untuk menghidar dari tatapan dan sentuhan orang tua akan dianggap sebagai pilihan yang paling efektif untuk melepaskan diri dari sebuah ketidaknyaman rasa. “Memutuskan” komunikasi menjadi keputusan yang “menyelamatkan” diri dari “serangan” dan intervensi yang sangat tidak diharapkan hadirnya di setiap waktunya. Bila hal ini sudah melekat dan mungkin memfosil dalam lubuk hati anak, maka pastilah komunikasi orang tua dan anak akan mengalami masalah. Dan dimungkinkan akan menciptakan situasi yang meruncing dan akan memancing masalah-masalah lainya.
Ada satu hal yang menjadi biang kerok hal tersebut di atas yaitu sebuah persepsi yang digenggam oleh orang tua  bahwa seorang anak adalah bentuk kecil (miniatur) dirinya. Bersemayamnya persepsi ini memotivasi orang tua untuk sampai pada pola berfikir bahwa dia boleh memaksa dan menyuruh apa saja yang ia kehendaki. Anak tidak boleh membantah dan harus selalu siap pada apa yang ia kehendaki. Maka orang tua sudah menjastifikasi diri bahwa dia adalah sang penguasa atas anak-anaknya. Apa yang ia rasakan harus ada di dalam hati anaknya, apa yang dia inginkan harus segera diwujudkan oleh anaknya, apa yang ia benci wajib dieleminasi dari keinginan anaknya, dan sebagainya. Singkatnya, apapun yang dikehendaki oleh orang tua harus dipahami dan harus dilaksanakan oleh anaknya.
Padahal, seorang anak adalah sebentuk pribadi yang mandiri. Ia memiliki kepribadian, kekuatan dan kekurangan yang sangat berbeda dengan orang tuanya. Dan inilah yang seharusnya disadari sepenuhnya oleh orang tua. Kepemilikan kesadaran inilah seharusnya dibangun oleh orang tua. Namun tak banyak orang tua yang memahami hal itu. Sehingga seorang ibu kerap membentak seorang anaknya yang tidak segera berangkat ke toko untuk membeli sebungkus cabe, seorang bapak harus memelototkan butir-butir matanya hanya ingin agar anaknya segera melangkahkan kakinya ke toko rokok untuk sebatang rokok, seorang ibu harus tega mencubit dan bahkan menampar untuk mengingatkan anaknya agar segera menyelesaikan mandinya. Sedangkan orang tua tersebut tidak mau memperhatikan apa yang sedang anaknya lakukan. “Kesibukan” anak harus dianggap sebagai kesibukan yang patut untuk tidak diganggu oleh siapapun. Karena anak pasti merasa bahwa dia sedang melakukan sesuatu yang sangat penting bagi diri dan dunianya. Anak memiliki diri dan dunianya sendiri sebagaimana orang tuanya yang memiliki diri dan dunianya sendiri.
Bukan berarti bahwa orang tua tidak boleh menyuruh anaknya untuk melakukan sesuatu. Tidak ada rumus yang melarang orang tua melakukan hal itu. Tetapi yang harus diperhitungkan adalah kapan dan saat apa yang dapat ditolelir untuk melakukan pemutusan program anak dan dengan cara yang bagaimana harus disisipkan ke dalam wilayah aktifitas anak. Ketepatan momen dan cara yang dipilih akan menimbulkan kesan positif atas “gangguan” yang menumbuhkan kesadaran dan keikhlasan untuk mempause (menghentikan sejenak) aktifitas yang sedang dia peragakan di dalam dunianya. Kesan positif yang berkembang di dalam sanubari anak adalah bahwa orang tuanya tidak memiliki perangai yang seanaknya menyuruh bahkan menguasai dirinya. Menghindari kesan bahwa orang tuanya adalah “penjajah” adalah sikap dan perilaku yang patut untuk terus ditumbuhsuburkan dan difosilkan pada segenap rasa yang membungkus perpaduan dua dunia, dunia anak dan dunia orang tua.
Jika orang tua memiliki pemahaman atas dunia anak, maka anak pasti akan memberikan apresiasi yang proporsional pada apa yang dibutuhkan dan dikehendaki oleh orang tuanya. Tidak ada lagi suara bapak yang memekakan telinga, karena dia memahami jika anaknya sedang nonton film kartun kesayangannya. Dan dia akan melontarkan kata minta tolong untuk dibelikan rokok di toko sebelah pada saat film tersebut jeda oleh commercial break. Tidak ada lagi seorang ibu yang menyuguhkan muka garang, kecuali dia akan membisikankan kata-kata indah ke telinga sang bungsu yang sedang bermain bus bahwa “udara sangat panas dan Pak sopir bus ingin mandi, dan setelah mandi nanti pak sopir bisa berangkat lagi”. Bentakan yang mengalir dari bibir mungilnya tidak lagi merobek telinga anaknya karena dia telah mengetahui cara yang paling tepat untuk memberikan persuasi dan selaras dengan situasi yang sedang berkembang di dalam situasi kejiwaan dunia anaknya yang sedang memerankan diri sebagai seorang sopir bus. Yang berkembang dalam benak sang anak adalah sebuah kebenaran yang logis yaitu adanya panas dan air. Sebuah dialok yang sangat alami dan logis telah diaplikasikan ke dalam dua dunia yang berbeda dan menimbulkan kesadaran yang jauh dari kesan memaksakan dan keterpaksaan kehendak.
Maka apa yang harus senantiasa dipikirkan oleh seorang tua dalam hubungannya dengan peran serta anaknya dalam aktifitas keseharian orang tuanya adalah kesan tidak adanya intervensi orang tua ke dalam dunianya yang sedang ia perankan. Hanya dengan cara itulah akan terhindar dari “konflik” antar dunia. Karena orang tua akan merasa dituakan oleh anaknya dan sang anak merasa tidak di”jajah” oleh orang tuanya.
Apa yang sedang kita bicarakan adalah bahwa memperlakukan anak sesuai dengan masanya. Dan itu pasti tidak akan mencidrai perasaan anak. Sikap, perilaku dan perkataan yang diekspos orang tua pasti akan menjadi perbendaharaan yang mengendap pada file memorinya. Dan tidak akan pernah dilupakan. Maka apapun yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, harus sesuatu yang baik-baik saja. Agar tercipta anak-anak yang enak didengar suara dan tutur katanya, sedap dipandang permukaan wajah, sikap dan tingkah lakunya.    

Tidak ada komentar: