BUKAN MINIATUR ORANG TUA
Tanpa disadari
banyak orang tua sering kali melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari
ranah psikologis yang seharusnya sangat dihindari. Seperti tindakan seenaknya menyuruh
dan bahkan memaksa anak untuk melakukan sesuatu di saat anak sedang asyik-asyiknya
melakukan kegiatan kegemarannya. Main perintah dengan sikap yang seakan sebagai komandan
batalion sebuah kesatuan tentara tidak sepatutnya diperagakan di hadapan anak. Disamping
terkesan tidak memberikan contoh sikap, prilaku dan wicara yang berbudi,
ekspresi tersebut juga tidak mendidik anak. Ini merupakan wujud nyata bahwa
orang tua sangat tidak memahami dunia anak dan sekaligus tidak memiliki rasa
hormat atas pribadi anak. Dan hal ini merupakan penyimpangan sikap dan perilaku
yang oleh anak-anak akan difonis sebagai intervensi pribadi. Penyimpangan ini
memungkinkan timbulnya dampak psikologis yang akan mempengaruhi perkembangan
psikologis anak-anaknya. Penyimpangan ini juga rentan timbulnya distorsi sikap
anak terhadap kekeramatan orang tua yang dapat menciptakan reduksi sikap serta
rasa hormat dan bahkan kasih sayang anak terhadap orang tua. Sehingga
menimbulkan hasrat untuk menciptakan jarak, baik secara pisik maupun
psikologis. Keinginan untuk menghidar dari tatapan dan sentuhan orang tua akan
dianggap sebagai pilihan yang paling efektif untuk melepaskan diri dari sebuah
ketidaknyaman rasa. “Memutuskan” komunikasi menjadi keputusan yang
“menyelamatkan” diri dari “serangan” dan intervensi yang sangat tidak
diharapkan hadirnya di setiap waktunya. Bila hal ini sudah melekat dan mungkin
memfosil dalam lubuk hati anak, maka pastilah komunikasi orang tua dan anak
akan mengalami masalah. Dan dimungkinkan akan menciptakan situasi yang
meruncing dan akan memancing masalah-masalah lainya.
Ada satu hal yang menjadi biang kerok hal tersebut di atas yaitu
sebuah persepsi yang digenggam oleh orang tua bahwa seorang anak adalah bentuk kecil (miniatur)
dirinya. Bersemayamnya persepsi ini memotivasi orang tua untuk sampai pada pola
berfikir bahwa dia boleh memaksa dan menyuruh apa saja yang ia kehendaki. Anak
tidak boleh membantah dan harus selalu siap pada apa yang ia kehendaki. Maka
orang tua sudah menjastifikasi diri bahwa dia adalah sang penguasa atas
anak-anaknya. Apa yang ia rasakan harus ada di dalam hati anaknya, apa yang dia
inginkan harus segera diwujudkan oleh anaknya, apa yang ia benci wajib
dieleminasi dari keinginan anaknya, dan sebagainya. Singkatnya, apapun yang
dikehendaki oleh orang tua harus dipahami dan harus dilaksanakan oleh anaknya.
Padahal, seorang
anak adalah sebentuk pribadi yang mandiri. Ia memiliki kepribadian, kekuatan
dan kekurangan yang sangat berbeda dengan orang tuanya. Dan inilah yang
seharusnya disadari sepenuhnya oleh orang tua. Kepemilikan kesadaran inilah
seharusnya dibangun oleh orang tua. Namun tak banyak orang tua yang memahami
hal itu. Sehingga seorang ibu kerap membentak seorang anaknya yang tidak segera
berangkat ke toko untuk membeli sebungkus cabe, seorang bapak harus
memelototkan butir-butir matanya hanya ingin agar anaknya segera melangkahkan
kakinya ke toko rokok untuk sebatang rokok, seorang ibu harus tega mencubit dan
bahkan menampar untuk mengingatkan anaknya agar segera menyelesaikan mandinya. Sedangkan
orang tua tersebut tidak mau memperhatikan apa yang sedang anaknya lakukan. “Kesibukan”
anak harus dianggap sebagai kesibukan yang patut untuk tidak diganggu oleh
siapapun. Karena anak pasti merasa bahwa dia sedang melakukan sesuatu yang
sangat penting bagi diri dan dunianya. Anak memiliki diri dan dunianya sendiri
sebagaimana orang tuanya yang memiliki diri dan dunianya sendiri.
Bukan berarti
bahwa orang tua tidak boleh menyuruh anaknya untuk melakukan sesuatu. Tidak ada
rumus yang melarang orang tua melakukan hal itu. Tetapi yang harus diperhitungkan
adalah kapan dan saat apa yang dapat ditolelir untuk melakukan pemutusan
program anak dan dengan cara yang bagaimana harus disisipkan ke dalam wilayah
aktifitas anak. Ketepatan momen dan cara yang dipilih akan menimbulkan kesan
positif atas “gangguan” yang menumbuhkan kesadaran dan keikhlasan untuk mempause (menghentikan sejenak) aktifitas
yang sedang dia peragakan di dalam dunianya. Kesan positif yang berkembang di
dalam sanubari anak adalah bahwa orang tuanya tidak memiliki perangai yang seanaknya
menyuruh bahkan menguasai dirinya. Menghindari kesan bahwa orang tuanya adalah
“penjajah” adalah sikap dan perilaku yang patut untuk terus ditumbuhsuburkan
dan difosilkan pada segenap rasa yang membungkus perpaduan dua dunia, dunia
anak dan dunia orang tua.
Jika orang tua
memiliki pemahaman atas dunia anak, maka anak pasti akan memberikan apresiasi
yang proporsional pada apa yang dibutuhkan dan dikehendaki oleh orang tuanya.
Tidak ada lagi suara bapak yang memekakan telinga, karena dia memahami jika anaknya
sedang nonton film kartun kesayangannya. Dan dia akan melontarkan kata minta
tolong untuk dibelikan rokok di toko sebelah pada saat film tersebut jeda oleh commercial break. Tidak ada lagi seorang
ibu yang menyuguhkan muka garang, kecuali dia akan membisikankan kata-kata
indah ke telinga sang bungsu yang sedang bermain bus bahwa “udara sangat panas
dan Pak sopir bus ingin mandi, dan setelah mandi nanti pak sopir bisa berangkat
lagi”. Bentakan yang mengalir dari bibir mungilnya tidak lagi merobek telinga
anaknya karena dia telah mengetahui cara yang paling tepat untuk memberikan
persuasi dan selaras dengan situasi yang sedang berkembang di dalam situasi
kejiwaan dunia anaknya yang sedang memerankan diri sebagai seorang sopir bus.
Yang berkembang dalam benak sang anak adalah sebuah kebenaran yang logis yaitu
adanya panas dan air. Sebuah dialok yang sangat alami dan logis telah
diaplikasikan ke dalam dua dunia yang berbeda dan menimbulkan kesadaran yang
jauh dari kesan memaksakan dan keterpaksaan kehendak.
Maka apa yang
harus senantiasa dipikirkan oleh seorang tua dalam hubungannya dengan peran
serta anaknya dalam aktifitas keseharian orang tuanya adalah kesan tidak adanya
intervensi orang tua ke dalam dunianya yang sedang ia perankan. Hanya dengan
cara itulah akan terhindar dari “konflik” antar dunia. Karena orang tua akan
merasa dituakan oleh anaknya dan sang anak merasa tidak di”jajah” oleh orang
tuanya.
Apa yang sedang
kita bicarakan adalah bahwa memperlakukan anak sesuai dengan masanya. Dan itu
pasti tidak akan mencidrai perasaan anak. Sikap, perilaku dan perkataan yang
diekspos orang tua pasti akan menjadi perbendaharaan yang mengendap pada file memorinya. Dan tidak akan pernah
dilupakan. Maka apapun yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, harus sesuatu
yang baik-baik saja. Agar tercipta anak-anak yang enak didengar suara dan tutur
katanya, sedap dipandang permukaan wajah, sikap dan tingkah lakunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar