Kamis, 25 Juli 2013

Ruang Kelas, Satu-Satunya Tempat Belajar


Ruang Kelas,
Satu-Satunya Tempat Belajar

Salah satu hal yang sangat mempengaruhi laju peningkatan kualitas pendidikan nasional adalah harmonisasi dan sinkronisasi antara rumah dan ruang kelas. Kedua tempat, dimana para siswa melakukan kegiatan belajar, harus terpadu dan saling melengkapi. Namun hal itu tidak terjadi pada para siswa yang orang tuanya memiliki atensi rendah terhadap pendidikan anaknya. Rumah yang seharusnya menjadi basis utama bagi proses pembelajaran mengalami distorsi. Sehingga proses pembelajaran siswa hanya terjadi di ruang kelas. Namun, menyadari sepenuhnya atas tugas dan kewajibannya sebagai harapan masyarakat membentuk genarasi bangsa yang unggul, para guru tidak akan menyurutkan gelora semangatnya.

              Mungkin karena adanya  rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap publik atas peningkatan derajat kwalitas dan harapan gemilangnya masa depan generasi bangsa ini, sehingga para  guru selalu tidak mengekspresikan rasa mengeluh secara terbuka ke halaman publik atas berbagai problematika yang kerap ditemukan pada saat pelaksanaan proses pembelajaran di kelas. Hal ini tentu saja karena mereka tidak menganggapnya sebagai problematika. Tetapi lebih tepat diapresiasi sebagai wujud nyata dari dinamika edukatif yang sangat pantas untuk dinikmati sebagai bagian dari pembelajaran Illahiyah yang diajarkan kepadanya. 
                  Namun demikian, para guru yang membina sekolah-sekolah swasta pinggiran selalu saja dipusingkan  oleh sikap sebagian besar anak didiknya yang menjauhkan  diri dari sikap dan kegiatan yang bersifat edukatif. Ada sikap-sikap tertentu mengganggu kenyamanan dan keindahan proses pembelajaran di kelas yang menunjukkan indikasi adanya pembiasan proses tersebut di rumah. Indikasi tersebut memperjelas wujud adanya penyimpangan komitmen antara sekolah/guru dan orang tua terhadap kebersamaan untuk melakukan proses pembentukan kepribadian, penanaman dan pengembangan etika, transfer ilmu pengetahuan serta berbagai elemen yang berada di wilayah edukasi secara bersama-sama dan terpadu.  Konvensi sosiologis telah menggariskan dan membagi wilayah tugas. Guru melakukan tugas edukasinya di wilayah sekolah dan orang tua melaksanakan kewajiban mendidik putra putrinya di rumah.
                  Rumah sebagai tempat belajar agaknya tidak lagi berfungsi maksimal. Budaya belajarpun semakin terkikis. Rumah kini telah berubah menjadi gedung film yang setiap saat dapat menampilkan berbagai  macam film dan hiburan lainnya. Rumahpun telah berubah fungsinya menjadi hotel dan penginapan yang hanya  dijadikan tempat untuk beristirahat dan melepaskan lelah.
                  Bapak dan ibu tidak lagi mampu melaksanakan fungsi dan peranannya sebagai motivator dan sekaligus edukator yang setiap saat dapat  memberikan dorongan semangat dan didikan bagi putra dan putrinya untuk melakukan kegiatan belajar dan mengebangkan diri di rumah. Hal itu  terjadi  sebagai akibat dari beberapa hal. Pertama, kesibukan orang tua  mencari nafkah yang kerap kali dijadikan kambing hitam untuk menguatkan alibi mengenai terlaksananya aktifitas perannya pada misi edukasi terhadap putra putrinya. Kedua, interpretasi menyimpangnya bahwa pendidikan adalah urusan guru di sekolah. Ketiga, ketidakmampuannya mendampingi dan menyertai putra putrinya dalam mempelajari mata pelajaran. Keempat, hancur dan porak porandanya hubungan dan komunikasi antara orang tua dan putra putrinya.
                  Mau tak mau, guru dan pihak sekolah harus menerima keadaan ini dengan ikhlas. Karena pihak sekolah dapat dipastikan tidak memiliki daya dan kekuatan untuk melakukan tekanan (pressure) kepada orang tua. Keinginan guru dan pihak sekolah agar orang tua  mengubah pola pikir, pola sikap dan pola perilakunya terhadap kegiatan atau proses pembelajaran di rumah mungkin hanya sebatas angan dan sulit untuk diwujudkan. Maka tidak ada pilihan lain kecuali guru dan pihak sekolah harus mendidik, mengajar dan melitih para peserta didik sendirian di sekolah tanpa keikutsertaan orang tua di rumah. Walau demikian, guru sebagai pejuang edukatif tidak akan pernah goyah dan menyerah pada keadaan ini. Guru akan tetap tegar pada perjuangannya. Bersama pemerintah, guru akan terus memantapkan langkah dan mengembangkan diri sebagai pejuang-pejuang yang professional di bidang edukatif.  Peningkatan kualitas dan profesionalisme menjadi prioritas dalam setiap langkah dan aktifitasnya. Hingga masalah tersebut tidak layak diposisikan sebagai hambatan dan gangguan yang mampu menggeser dan menurunkan semangat guru untuk terus mendidik, mengajar dan melatih putra dan putri generasi bangsa Indonesia.
                  Maka para guru harus senantiasa berusaha mencari berbagai macam terobosan. dan menggali berbagai kreatifitas untuk menciptakan ruang kelas menjadi sebuah tempat belajar. Bahkan mampu mengubahnya menjadi ”istana” dimana anak didiknya selalu memimpikan untuk senantiasa hadir di dalamnya.
                  Menghidupkan suasana ruang kelas adalah kunci utama dari terciptanya kenyamanan dan keindahan proses pembelajaran dengan cara mengembangkan kemampuannya dalam bermain watak.  Yaitu mampu menampilkan diri pada berbagai karakter dan situasi yang berkembang. Mengembangkan rasa dan sikap empati dan mendekatkan diri pada dunia anak didik baik secara fisik maupun psikologis akan memungkinkan para siswa menemukan dan memahami bahwa kehadiran seorang guru dapat membukakan jalan kemudahan dalam mempelajari sesuatu dan memecahkan berbagai problematika yang dihadapi oleh para siswa.
                  Singkatnya untuk menciptakan ruang kelas yang mampu menarik hati para siswa agar dapat melakukan aktifitas berlajar secara maksimal, maka seorang guru harus selalu berusaha untuk membebaskan diri dari berbagai interpretasi negatif terhadap setiap aktifitas yang dilakukan oleh para siswanya dan menggantinya dengan sikap yang simpati sebagai sosok manusia yang selalu diimpikan kehadirannya. Menempatkan dirinya sebagai fasilitator/pemudah bagi para siswa adalah yang paling pantas bagi guru. Keindahan profesi ini tentu saja terletak pada terciptanya kemudahan bagi para anak didiknya.
                  Dengan demikian, maka masalah kesulitan belajar siswa di rumah akan dapat diatasi. Dan peranan rumah sebagai tempat belajar dapat diambil alih oleh sekolah/ruang kelas dengan arahan dan bimbingan para guru yang memiliki apresiasi paripurna terhadap pendidikan, anak didik dan peranan sekolah/ruang kelas sebagai satu-satunya tempat belajar.

Tidak ada komentar: